Membalaskan Dendam yang Terpendam
--
Pengalaman menjadi kakak tingkat (kating) merupakan salah satu bentuk tanggung jawab. Hasilnya, terkadang perilaku yang saya berikan merupakan balas dendam dari apa yang tidak saya dapatkan.
Sebulan lalu saya menjadi salah satu sosok yang dituakan dalam sebuah tim yang berisi mahasiswa-mahasiswa semester 1 yang menjalani magang selama sebulan di organisasi saya. Karena pernah melewati masa-masa tersebut, reflek yang saya ambil adalah untuk memberikan apa yang saya dambakan ketika berada di sepatu mereka.
Saya membuat sebuah grup Whatsapp dan berusaha merutinkan untuk bertemu guna memudahkan ketika ada pertanyaan dan transfer ilmu terkait kepenulisan. Saya juga seringkali menjadi sosok yang membuka percakapan dan menanya-nanyakan terkait progress pekerjaan magang mereka.
Mungkin sindrom ini seharusnya dimiliki oleh orang tua kepada anaknya. Namun, saya sendiri juga terkadang merasa sesal apabila tidak dapat memberikan apa yang seharusnya mereka dapatkan — atau lebih tepatnya apa yang saya harapkan dapatkan dari kakak tingkat saya. Alhasil secara harafiah, bimbingan yang saya lakukan bisa dibilang merupakan sebuah aksi balas dendam kepada kakak tingkat saya.
Tapi memang betul setiap orang punya zamannya dan setiap zaman punya orangnya. Apa yang saya berikan bisa saja disalahartikan sebagai salah satu upaya yang terlalu merepotkan. Sebagaimana karena mereka belum pernah berada di posisi saya, alhasil rasa pengorbanan yang perlu saya lakukan tidak tersampaikan dengan baik kepada mereka.
Mimpi yang saya miliki kemudian saya paksakan kepada mereka. Padahal, tentu dengan perbedaan lingkungan dan kondisi yang mereka alami, tidak bisa serta merta saya meminta mereka untuk memimpikan hal yang sama dengan saya. Karena setiap orang memiliki sejarah dan ceritanya yang unik, tak pernah sama dengan yang lain.
Inilah peran seorang orang tua sekaligus pemimpin. Harus bisa mendengarkan isi hati dan keinginan anak-anaknya. Dengan tidak memaksakan mimpinya mentah-mentah namun tetap perlu dimodifikasi agar sesuai dengan yang ingin disampaikan.
Mungkin, kata yang lebih tepat untuk menggambarkan tugas seorang yang dituakan adalah untuk menanamkan hal yang perlu dituju. Memberikan makna dari sebuah tujuan dan mengajarkan terkait kemampuan spesial sebagai manusia, yakni berharap untuk masa depan yang lebih baik.
Dengan begitu, anak-anaknya masih bisa leluasa bereksperimen terhadap hidupnya. Mencicipi segala kesalahan dan hal baru yang murni dibuat oleh tindakan pengambilan keputusan yang dibuatnya.
Dengan cara itu, meskipun orang tua tidak memberikan kemudahan bagi anak-anaknya dalam menjalani hidup seperti yang diharapkan kebanyakan orang tua agar anaknya tidak merasakan kesusahan seperti dirinya. Tetapi Ia akan mengajari anaknya mempunyai keberanian untuk berdiri dengan kaki sendiri.
Hasilnya sebulan kemarin pertemuan kami terasa sangat hangat. Keterikatan yang ada membuat saya terus memberikan bekal apa saja yang perlu mereka miliki tetapi disesuaikan dengan batasan-batasan yang mereka miliki. Tanpa memaksa dan menanamkan mimpi yang saya inginkan, karena saya tahu mereka punya mimpi juga yang digenggam erat. Tugas saya hanyalah sebatas memberikan pandangan baru atas hasil perjalanan saya sejauh ini.